Jerit Terakhir

2009/11/25

Menangis akhirnya dengan jerit mengkhawatirkan. Puncak kesedihannya ia ungkapkan dengan pingsan. Tak mampu kesadarannya memilihkan kata-kata, tak mampu menunjukan cara baik untuk menyatakan perasaan yang kehilangan.

Bulan terang. Angin semilir. Daun-daun saling berjabat dan risik lirih. Binatang malam berlagu merdu merayu. Suasana tetap senyap. Dari jauh terdengar samar seperti biasa, seruling bambu mengalun berayun-ayun, seolah mengerti bahwa ada rasa ingin ditimang-sayang. Sementara isakkan sisa-sisa tangis masih bersahutan, antara Nenek, Bapak, Adik yang menatap sang Kakak yang terbujur dan memejam mata dengan senyum.

Ibu yang biasanya tegar menebang belantara derita, kini pingsan sudah setelah jeritnya. Lama, mungkin hampir 70 menit, si Ibu tersadar dalam keheningan karena dilelahkan oleh kesedihan. Si Adik berusia delapan tahun itu nampak sudah nampak dewasa diantara kepilan dan kegetiran, mengambilkan air untuk Ibunya, ”minum, Bu!”, titahnya.

…,

Delapan tahun lebih Ibunya telah tiada, wafat 35 hari setelah anak sulungnya. Warsinih kini telah 17 tahun 10 bulan. Dua bulan mendatang ia beusia 18 tahun, dan sang Ayah meninggal karena sakit campuraduk. Sebelum meninggal, Warsinih yang membiayai pengobatanya. Meskipun jauh dari cukup perawatannya, namun sang Ayah mengangumi keikhlasan anak terakhirnya dalam merawatnya. Neneknya juga senantiasa mendoakan cucu tercintanya agar bahagia. Meskipun mereka tau bahwa Warsinih seorang pelacur, namun cinta mereka tak pernah pudar.

Kini Warsinih tinggal di rumah yang wajar, bukan rumah kardus dipinggiran gundukan sampah. Neneknya ia manjakan dengan perawat yang ia sewa khusus untuk si Nenek. Namun, Warsinih tetap pelacur. Itu saja yang ia mampu. Tidak tau jalan lain menuju lumbung rezeki. Maklumlah, ia “anak sampah”, Warsinih tak pernah bersekolah. Ia hanya tau jumlah uang recehan dan seabreg kebutuhan harian yang tak pernah tercukupi.

…-,

Peraturan Pemerintah. SatpolPP membubarkan tempat Warsinih mengais rezeki. Ia sempat diajari dosa dan keterampilan alakadarnya di Panti Sosial. Namun, sebelum sampai ke panti, ia sempat menikmati beringasnya syahwat kantoran. Dan, pelajaran dosa dan keterampilannya akan segera berkarat. Warsinih pun tetap, tak mengerti bagaimana memanfaatkan keterampilan yang sempat ia pelajari. Memang, wajar Warsinih bingung, toh yang sarjana saja bingung! Ia pun tetap sebagai pelayan syahwat, meskipun tempat yang sekarang lebih luas dan terbuka, di jalanan.

Warsinih tak tau neneknya meninggal. Keluar dari Panti Rehabilitasi, ia pulang membawa obat untuk Neneknya tersayang. Ia meminjam uang kepada temannya, yang selamat dari Razia tempo hari, untuk membeli obat. Sesampainya di rumah, ia pingsan setelah teriak kehilangan. Pengasuhnya tak lagi dirumahnya. Tetangga yang menceritakan kejadian slama ia di Panti, yang dititipi kuci rumah oleh pengasuh neneknya.

Dalam kekalutan sebab kesedihan, ia duduk di tempat ia mangkal. Mekipun Warsinih pemanja syahwat sialan, malam itu ia hanya mencari ketenangan. Ingin ia menitipkan laranya kepada angin malam. Namu, datang pelanggan dan memaksanya. Warsinih tentu menolak dengan sangat. Ia dipaksa. Kemudian ia mencaci, mencaci, mencaci, dicaci, mencaci, dicaci, mencaci…

Warsinih, sungguh sudah menjadi yatim-piatu. Di pagi ketiga sejak wafatnya sang Nenek, Marsinih ditemukan tergeletak dikolong jembatan. Sedikit memar di punggung dan pipinya. Ditemukan hanya mengenakan baju yang depannya telah sobek. 3/4nya telanjang. Entah bagaimana nasib rumah dan kisah kematiannya di tangan aparat. Yang pasti, tiga orang pemulung, sekeluarga, mendengar tiga kali jeritan. ”Seperti jeritan yang kehilangan gairah”, tambahnya nyeleneh sambil cengengesan.

18 Oktober 2009 Parigimulya

5 Tanggapan to “Jerit Terakhir”

  1. linatussophy said

    enak menikmati tulisan ini
    ternyata salah sangka selama ini saya sama dirimu boy….

Tinggalkan Balasan ke linatussophy Batalkan balasan